Heavy Night, Holy F*ck!
Pagi ini gue duduk sarapan di tempat gue sarapan beberapa hari yang lalu sebelum berangkat ke Istora Senayan untuk general rehearsal final show #SpitTheVenom2013. Gue ingin menulis dan berbagi cerita di artikel ini. Bedanya pagi ini dengan Sabtu lalu, tidak ada rush untuk menyelesaikan show, hanya Senin sibuk seperti biasa di kota Jakarta.So yeah. Balik ke 2 minggu lalu dimana semuanya dimulai. Gue sedang di kantor bersiap pulang. Tiba-tiba Dadan Ketu mengirim pesan: “Bin, nanti maen di konser penutupan tour, tanggal 28 ya!“. Gue ga berpikir untuk menolak, tapi penasaran dengan detilnya. Gue tanya “Lagu “Atur Aku“?”. “Iya” jawab Dadan. “Tapi kata Ebenk versi Burgerkill.” I knew it! Pasti si Ebenk ada di sebelahnya. He’s the ultimate bastard. Anyway, gue kemudian mengiyakan tanpa berpikir lagi. Syaratnya 1, harus latihan dulu. I knew something wasn’t right.
Pulang ke rumah, gue menyiapkan lagu di pemutar .mp3, dan sadar kalau gue ga pernah memainkan part gitar versi Burgerkill yang lebih cepat dan variasinya sangat banyak. Setelah mencoba, gue baru sadar bahwa gue tidak pernah menyentuh gitar selama kurang lebih 9 tahun sejak terakhir manggung di konser reuni Puppen tahun 2004. Ok, dalam hati gue bertanya, “What kind of trouble I am in?”. Dan itu baru permulaan.
Keesokan harinya gue ke tempat rombongan Burgerkill menginap, yang kebetulan lokasinya dekat dengan kantor gue. Hari itu kebetulan libur, tidak ada show maupun meet-and-greed. Waktu luang tersebut digunakan oleh Ebenk, Agung dan Dadan untuk pulang ke Bandung menemui keluarga. Di penginapan, gue ketemu Yayat dan nongkrong disana hampir setengah hari, ngobrol kesana kemari membahas what state the band in. Sebagai catatan, selama ini gue termasuk orang yang sangat dekat dengan semua personil Burgerkill karena sering kerja bareng. Tapi baru sekali ini main musik bareng. It’s a whole different thing. Akhirnya gue bawa gitar Ebenk yang Gibson SG, yang bernama “Si Bedil” pulang ke rumah. “Gue pake gitar ini aja, sampe nanti di panggung” gue bilang sama Rendra, teknisi gitar Ebenk.
Setelah membiasakan diri dengan Si Bedil, dua hari kemudian gue ngotot untuk menemui Ebenk dan Agung. Ingin memastikan versi gitar yang gue ulik sama dengan yang mereka biasa mainkan. Setelah memastikan, dan menemukan beberapa bagian yang perlu penyesuaian, gue melanjutkan ngulik sendiri ditengah-tengah kesibukan bisnis dan berkeluarga. Semakin dekat ke hari H, semakin kerasa kalau sebenarnya persiapan gue kurang. Bukan hanya masalah teknis, yaitu soal ngulik gitarnya, tapi masih segar dalam ingatan gue, bahwa manggung itu bukan sekedar naik ke atas panggung dan main gitar begitu saja. Melakukan show adalah bagian dari pekerjaan seorang musisi yang paling kompleks. Mengapa? Karena satu alasan: they must be really really really good at it. That what makes them musicians, and separate them from the rest of the world.
Jadi gue sadar, kalau gue harus main bagus banget, agar menjadi musisi, seperti Burgerkill. Waktu persiapan sangat terbatas tapi karena ga nemu alasan untuk mundur akhirnya gue putuskan untuk maju terus. Setelah menemukan jadwal yang tepat untuk semua yang terlibat, akhirnya kita bisa berlatih di studio Abba di daerah Gandaria. A pretty decent rehearsal studio. Ruangannya besar dan bersih, dan pengelolanya membolehkan kami memakai sepatu (it’s one of those shitty things bands who don’t have their own studio should face: latihan tanpa sepatu). Setelah mencoba lagu 1 kali, gue menemukan problem berikutnya, yang lebih berat daripada masalah yang gue temukan sebelumnya…
Gini. Burgerkill sedang di tengah tour. Mereka melakukan segalanya bersama selama lebih dari 2 bulan. Gue merasakan kerukunan di antara mereka aemua. Dan dari cerita yang gua dengar, sejauh ini band bersama seluruh team berhasil melewati semua masalah. Dari duka cita yang dihadapi Agung dan Vicky, hingga masalah keletihan dan kebosanan. There goes my problem. Gue orang yang baru bergabung seminggu terakhir. Artinya, gue harus adjust ke dalam sekelompok orang, yang sedang kompak banget. Tidak ada skill, pelajaran maupun pengalaman yang bisa mengatasi masalah teraebut, kecuali gue bisa masuk ke dalam dan menjadi bagian dari mereka. Mungkin agak lebih mudah karena gue sudah kenal dengan mereka semua, but fuck there are still a lot of work to do. Akhirnya hanya 1 yang gue bisa lakukan. Yaitu menambah waktu bersama mereka. Gue minta untuk ikut manggung di show di Majalengka, kota terakhir yang disinggahi, sehari sebelum show puncak di Jakarta. Untuk memastikan gue bisa masuk ke dalam jiwa mereka. Setelah latihan selesai, gue kembali ke kantor dan Burgerkill melanjutkan perjalanan ke acara Meet and Greet, dan malamnya latihan dengan Mas Ian Antono.
Hari Kamis 26 September, gue menginap di hotel tempat rombongan menginap. Dan keesokan paginya, kita meninggalkan Jakarta menggunakan The Venombus menuju Majalengka. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam, kami tiba di kabupaten di Jawa Barat tersebut. Setelah makan siang, pemain sempat tidur siang sejenak. Malamnya kami berangkat ke venue sekitar jam 6:30. What a hell of a ride. Show disana dilakukan di lapangan terbuka. Udara sangat panas dan angin berhembus sangat kencang. Acara dimulai jam 3 sore, penonton terpanggang udara yang sangat panas, dan ketika matahari tenggelam, semua orang yang berada di venue sejak sore sudah kehabisan tenaga. Angin yang kencang juga menimbulkan beberapa masalah, seperti rusaknya beberapa dekorasi panggung. Karena tidak mungkin mundur, band naik panggung sekitar jam 9 malam. Penonton yang sudah sangat letih sangat sulit “dibakar”. Mereka juga tidak sadar mereka keletihan. Tapi siapalah kita bisa melawan alam. Show malam itu tidak seperti biasanya. Vicky baru kehilangan mertua tercinta subuh di hari yang sama. Langkah taktis yang harus dilakukan adalah mengurangi durasi show. Dari repertoire yang biasanya 12 lagu jadi 8 lagu. Dengan segala kendala yang muncul tanpa bisa dikendalikan, band tetap tampil kesetanan. Because fuck you.
Lagu ke lagu mengalun dengan volume super keras. Gue menunggu dengan resah, karena lagu “Atur Aku” adalah lagu terakhir. Menunggu di samping panggung malam itu adalah salah satu 40 menit terlama dalam hidup gue. Tapi selama apapun menunggu pasti ada akhirnya. Begitu pula malam itu, penungguan gue berakhir setelah lagu “Tiga Titik Hitam”. Skenarionya adalah Agung mulai dengan intro gitar, dan Vicky akan memanggil nama gue, kemudian gue naik. Jadi setelah teriakan Vicky, gue bergegas menyeruak ke panggung. Yang pertama gue lihat adalah penonton. Dari penglihatan mata silindris selama kurang lebih 5 detik, gue berkesimpulan bahwa dari sekitar 1000 penonton, paling banyak 200 orang yang kenal gue atau setidaknya pernah dengar nama gue dari band lama gue Puppen. But i thought, “Fuck it, I was on stage and those 800s were not. I am the one who should take control”. Disitulah pengalaman musisi akan berguna, karena musisi berpengalaman akan memiliki intuisi apa yang harus dilakukan. Ini tidak bisa diajarkan ataupun hanya diberikan teori. You just have to go on stage dan melakukannya berulang-ulang-ulang-ulang dan ulangi berulang kali.
Jadi… Apa yang terjadi? Gue bingung. Lupa musti melakukan apa. Ketika naik dan kena sorotan lampu gue coba memahami apa yang terjadi, dan gue hanya punya waktu beberapa detik saja. Begitu banyak detil yang harus dipahami dan kemudian harus segera gue sikapi. Jadi, apa yang gue harus lakukan? Di depan ada penonton. Di kanan, kiri dan belakang ada Burgerkill. Sound gitar, bass, drum dan vokal berteriak dari speaker monitor. Dan terakhir, sound gitar gue yang mengaum tiap kali pick gitar menyentuh senar. What the fuck should I do first? Akhirnya gue menyapa penonton terlebih dahulu, menepuk-nepuk dada beberapa kali. That was the best I can think of. Setelah itu menyapa personil satu-persatu. Ketika Andris memberikan aba-aba untuk memulai, gue baru bisa masuk ke aksi rutin musisi di atas panggung: main musik. Tempo Atur Aku versi Burgerkill sangat agresif dan cepat. Dan seperti sudah bisa diduga sebelumnya, diatas panggung malah lebih cepat lagi. Dalam 1 kalimat bisa gue sebut dengan “6 menit dengan intensi yang mengerikan”. Jika masa menunggu naik rasanya lama banget, ketika diatas panggung rasanya terbalik. That was the shortest 6 minutes in my life. Tahu-tahu lagu sudah selesai. Well…
Turun panggung, kami istirahat sebentar di tempat yang sudah disediakan penyelenggara. Gue mulai merasakan kembali momen-momen saat gue menjadi musisi 1 dekade lalu. Momen-momen yang hanya dirasakan oleh musisi aktif. It was a bless that I can feel it again.
Jam 11:30-an akhirnya rombongan kembali ke hotel, dan berangkat ke Jakarta untuk show berikutnya.
Tiba di Jakarta sekitar jam 4 pagi, rombongan langsung masuk kamar masing-masing. Tidak ada kamar tersisa. Semua sangat letih, dan gue akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah untuk tidur di kasur tempat gue biasa tidur.
Heavy Night, Holy Night
Jam 10 pagi gue balik kembali ke hotel dan menuju Senayan bersama personil untuk grand rehearsal. Tiba di venue, rombongan disambut dengan peralatan yang sudah siap pakai karena team teknis sudah datang sejak pagi sekali untuk menyiapkan. Beberapa jam dihabiskan untuk berlatih show skenario, karena ada beberapa bintang tamu yang akan manggung juga bersama Burgerkill. Beberapa masalah produksi suara juga diberesi dalam kesempatan ini. Usai GR sekitar jam 3 sore, personil beristirahat di tempat untuk menunggu di belakang panggung. Sebelum rebahan, gue sempat jalan-jalan ke tempat pintu masuk penonton, melihat-lihat keadaan. Sudah cukup banyak penonton yang berkumpul, tapi pintu belum dibuka. Badan terasa sangat letih dan gue pun kembali ke tempat istirahat. Makan siang dan rebahan sebentar berharap tenaga sedikit pulih. Backstage cukup ramai, ada beberapa ruangan disana. Di ruangan tempat saya istirahat, selain oleh personil Burgerkill juga digunakan oleh guest star lainnya yaitu Mas Ian Antono, Fadly, dan MC malam itu, Ronald.
Setelah menghabiskan beberapa minuman dingin, sekitar jam 6:30-an gue merasa ingin main gitar. Gue ke panggung sebentar untuk mengambil Si Bedil, dan pinjam set portable Ebenk di backstage untuk pemanasan. Saat itu Otong dan Adam sudah ada disitu juga, menunggu giliran naik, dan Jasad sedang di atas panggung. Ternyata penonton sudah banyak yang masuk dan memenuhi ruangan konser. Gue melanjutkan pemanasan dan setelah sekitar setengah jam, gitar gue kembalikan ke panggung untuk disiapkan oleh Rendra (thanks, Man!). Setelah itu gue bolak-balik ruangan-ruangan di backstage, menikmati suasana, sambil menyapa teman-teman dari Jasad dan Siksa Kubur. Beberapa teman media seperti Adib Hidayat dari Rolling Stone dan Danie Satrio dari Hai juga ada disana. Juga ada Ardianto dari @fotokonser yang asik jeprat-jepret suasana.
Akhirnya ketika Siksa Kubur sedang diatas panggung, Burgerkill dipanggil untuk bersiap naik. Suasana backstage jadi lebih serius. Setelah briefing singkat dengan seluruh team, masing-masing berpencar ke pos yang sudah ditentukan. Gue masih menikmati suasana tapi adrenalin terasa lebih tinggi. This is the time. Well, not exactly, karena gue harus menunggu 14 lagu sebelum sampai bagian gue. Beberapa menit sebelum band main, gue berdiri di samping panggung, di balik tirai penutup. Personil keluar satu-persatu, disambut dengan sorakan dan gemuruh. Holy Mother of God, ga bisa ditahan bulu kuduk gue berdiri. Lagu pertama pun digeber, holy shit… Penonton pun pecaaaaahhhhh… Sick motherfuckers! \m/
Mencoba tidak terbawa suasana, gue menunggu sambil resah. Akhirnya gue biarkan saja terbawa suasana. Karena gue pikir rugi kalau tidak. Satu persatu lagu dibawakan hingga bintang tamu pertama, Mas Ian Antono naik. Meski berumur jauh diatas gue, beliau masih bertaring. Bagian lead guitar Seek And Destroy yang dibawakan pun disikat habis (sampe sekarang bagian rythm lagu itu aja gue belum selesai ulik, lazy bastard). Superb left hand Mas Ian! Beberapa lagu kemudian, intro “Tiga Titik Hitam” yang mengharukan mengalun di PA system. Ebenk ke belakang panggung ke dekat set gitarnya. Gue sedang disitu mengambil gitar untuk bersiap. Gue masih ingat Ebenk minta rokok, “Bin, minta rokok sehisap”. Gue berikan rokok yang sedang menyala di tangan kanan gue. Kemudian Fadly naik, penonton bersorak. Ebenk kembali ke tempatnya. Di tengah keresahan gue sendirian, gue merinding lagi. Suara Fadly was extremely beautiful dan mengalun dengan merdu di atas gemuruh musik Burgerkill. Awesome as fuck!
Setelah itu lagu “An Elegy” pun mengalun, masih bersama Fadly. Gue coba mainkan, tapi gue lupa mau mainkan apa. Fuck. Akhirnya gue gombrang-gombreng aja untuk melemaskan tangan kanan dan kiri, sambil berkata dalam hari “Dear hands, be good to me. Don’t fuck things up!”.
Selesai lagu, setelah break beberapa detik, Agung pun mulai memainkan intro “Atur Aku” dan Vicky mulai speech. Gue ga denger apa yang Vicky omongkan karena suasana rasanya berisik banget. Dalam hati gue “Whatever for fuck sake, let’s fucking do this motherfucker!”. Persiapan 2 minggu diakhiri menit itu. Sebelum maju, gue sempat melihat Pak Albert dari Megapro melewati tempat gue berdiri dari arah set drum Andris, dan kabel gitar gue terpelanting kena sepatunya. Ketika Ebenk memanggil dari kejauhan, gue bergegas maju dan shit… kabel gitar gue ternyata nyangkut di salah satu floor monitor di samping rig gitar Ebenk. Gue kibaskan gitar dua-tiga kali, dan akhirnya lepas. Phewwww… Ok. What’s next? Oh maju ke depan. So yeah, gue maju dan disambut oleh penonton. Tampaknya lebih banyak orang yang inget gue di Jakarta daripada di Majalengka. Ok, whatever. Yang pasti kali ini gue sudah lebih tahu bahwa memang gue harus menyapa penonton terlebih dahulu, baru personil di atas pangung satu persatu, baru mencari sound gitar gue di speaker monitor. Andris memberi aba-aba, dan gue mulai intro that famous rythm. Apa yang dilakukan penonton? Holy fuck, lihat sendiri di video yang diambil Wendi di bawah ini:
sumber : http://www.burgerkillofficial.com